Masjid masjid Bersejarah Wisata Religi
BAITURRAHMAN ACEH
Masjid Raya Baiturrahman merupakan salah satu daya tarik wisata budaya yang paling menonjol di Banda Aceh, sekaligus menjadi “icon” pariwisata Aceh. Bangunan ini secara strategis terletak di jantung Kota Banda Aceh yang dilengkapi dengan berbagai arsitektur dan ornamen khas Aceh yang luar biasa. Mesjid ini menjadi salah satu sasaran kunjungan wisatawan.
Mesjid ini dibangun sekitar 12 abad yang lalu dan pernah dibakar beberapa kali termasuk ketika Belanda menyerang Kuta Raja (Banda Aceh) pada tahun 1873. Kemudian pada tahun 1883 Belanda membangun kembali mesjid tersebut dalam upaya mengambil hati rakyat Aceh. Bangunan mesjid ini memiliki lima buah kubah dan dinding yang lebar serta kerangka yang besar. Di sekitar dasar kubah, dinding dan pilar terdapat bermacam jenis hiasan yang menarik.
Sumber: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Prov NAD
Masjid Agung Banten
===================
Oleh Bambang Setia Budi
Masjid Agung Banten, sebagaimana masjid tua dan bersejarah, selalu diramaikan para peziarah tiap hari dari berbagai daerah di Jawa pada umumnya.
Kompleks bangunan masjid ini ada di Desa Banten Lama, sekitar 10 km sebelah utara Kota Serang, ibu kota Provinsi Banten, .
Masjid Agung Banten -dibangun pertama kali oleh Sultan Maulana Hasanuddin (1552-1570), Selain sebagai tempat ibadah, juga menjadi obyek wisata riligi,
Menurut orang dulu, Masjid Agung Banten sejak awalnya beratap tumpuk lima, namun pada abad ke-17 pernah diubah menjadi tiga. Hal demikian dimungkinkan karena dua atap tumpuk teratas sebenarnya hanya atap tambahan yang ditopang tiang pusat
Yang paling menarik dari atap Masjid Agung Banten adalah justru pada dua tumpukan atap konsentris paling atas yang samar-samar mengingatkan idiom pagoda Cina. Kedua atap itu berdiri tepat di atas puncak tumpukan atap ketiga dengan sistem struktur penyalur gaya yang bertemu pada satu titik. Peletakan seperti itu memperlihatkan kesan seakan-akan atap dalam posisi kritis dan mudah goyah, namun hal ini justru menjadi daya tarik tersendiri.
Dua tumpukan atap paling atas itu tampak lebih berfungsi sebagai mahkota dibanding sebagai atap penutup ruang bagian dalam bangunan. Tak heran jika bentuk dan ekspresi seperti itu sebetulnya dapat dibaca dalam dua penafsiran: masjid beratap tumpuk lima atau masjid beratap tumpuk tiga dengan ditambah dua mahkota di atasnya sebagai elemen estetik.
Elemen menarik lainnya adalah menara di sebelah timur yang besar dan monumental serta tergolong unik karena belum pernah terdapat bentuk menara seperti itu di Jawa, bahkan di seluruh Nusantara. Dikarenakan menara bukanlah tradisi yang melengkapi masjid di Jawa pada masa awal, maka Masjid Agung Banten termasuk di antara masjid yang mula-mula menggunakan unsur menara di Jawa.
Tradisi menyebutkan, menara berkonstruksi batu bata setinggi kurang lebih 24 meter ini dulunya konon lebih berfungsi sebagai menara pandang/ pengamat ke lepas pantai karena bentuknya yang mirip mercusuar daripada sebagai tempat mengumandangkan azan. Yang jelas, semua berita Belanda tentang Banten hampir selalu menyebutkan menara tersebut, membuktikan menara itu selalu menarik perhatian pengunjung Kota Banten masa lampau.
Berita itu menunjukkan pula menara telah dibangun tidak berselang lama dengan pembangunan masjid. Dari hasil penelusuran Dr KC Crucq, yang pernah dimuat dalam karangannya berjudul Aanteekeningen Over de Manara te Banten (Beberapa Catatan tentang Menara di Banten) yang dipublikasikan dalam Tidscrift Voor de Indische Taal, Land and Volkenkunde van Nederlandsch Indie, dinyatakan, menara dibangun pada masa Sultan Maulana Hasanudin ketika putranya Maulana Yusuf sudah dewasa dan menikah.
Namun, dari sisi ragam hias, menara Masjid Agung Banten tampak terpengaruh seni ragam hias yang terdapat di Jawa, seperti hiasan kepala menara berbentuk dagoba atau hiasan segi tiga memanjang yang dikenal sebagai tumpal. Keduanya banyak dijumpai pada Candi Jago di Jawa Timur dan candi-candi lainnya. Bahkan, motif relung pada pintu menara seakan-akan merupakan penyederhanaan motif kala-makara dalam tradisi kebudayaan Indonesia pra-Islam seperti juga dekorasi mihrab Masjid Agung Kasepuhan di Cirebon.
SEBENARNYA masih banyak elemen unik lainnya yang secara singkat dapat disebutkan, seperti adanya umpak dari batu andesit berbentuk labu berukuran besar dan beragam pada setiap dasar tiang masjid. Yang berukuran paling besar dengan garis labu yang paling banyak adalah umpak pada empat tiang saka guru di tengah-tengah ruang shalat. Ukuran umpak besar ini tidak akan kita temui di sepanjang Pulau Jawa, kecuali di bekas reruntuhan salah satu masjid Kasultanan Mataram di Plered, Yogyakarta.
Selain itu, terdapat mimbar yang besar dan antik penuh hiasan dan warna. Tempat khotbah ini merupakan wakaf Nyai Haji Irad Jonjang Serang pada tanggal 23 Syawal 1323 Hijriyah (1903 M) sebagaimana tertulis dalam huruf Arab gundul pada penampil lengkung bagian atas muka mimbar. Berbeda dari mimbarnya yang menarik perhatian, mihrabnya (tempat imam memimpin shalat) yang berbentuk ceruk justru sangat kecil, sempit dan sederhana. Ini sangat berbeda dari mihrab yang berkembang pada masjid di belahan dunia lain.
Adanya pendopo dan kolam untuk wudu di sebelah timur melengkapi karakteristik masjid Jawa umumnya. Tiang pendopo yang dibangun pada masa pemerintahan Sultan Maulana Yusuf itu juga menggunakan umpak batu labu dengan bentuk bangunan dan teknik konstruksi tradisional Jawa.
MAJID KUDUS
===================
Masjid Menara Kudus merupakan salah satu peninggalan sejarah, sebagai bukti proses penyebaran Islam di Tanah Jawa. Masjid ini tergolong unik karena desain bangunannya, yang merupakan penggabungan antara Budaya Hindu dan Budaya Islam. Sebagaimana kita ketahui, sebelum Islam, Di Jawa telah berkembang agama Budha dan Hindu dengan peninggalannya berupa Candi dan Pura. Selain itu ada penyembahan terhadap Roh Nenek Moyang (Animisme) dan kepercayaan terhadap benda-benda (Dinamisme). Masjid Menara Kudus menjadi bukti, bagaimana sebuah perpaduan antara Kebudayaan Islam dan Kebudayaan Hindu telah menghasilkan sebuah bangunan yang tergolong unik dan bergaya arsitektur tinggi. Sebuah bangunan masjid, namun dengan menara dalam bentuk candi dan berbagai ornamen lain yang bergaya Hindu.
masjid Kudus dibangun oleh Sunan Kudus pada tahun 956 H. Hal ini terlihat dari batu tulis yang terletak di Pengimaman masjid, yang bertuliskan dan berbentuk bahasa Arab, yang sukar dibaca karena telah banyak huruf-huruf yang rusak. Batu itu berperisai, dan ukuran perisai tersebut adalah dengan panjang 46 cm, lebar 30 cm. Konon kabarnya batu tersebut berasal dari Baitulmakdis ( Al Quds ) di Yerussalem - Palestina. Dari kata Baitulmakdis itulah muncul nama Kudus yang artinya suci, sehingga masjid tersebut dinamakan masjid Kudus dan kotanya dinamakan dengan kota Kudus.
Masjid Menara Kudus ini terdiri dari 5 buah pintu sebelah kanan, dan 5 buah pintu sebelah kiri. Jendelanya semuanya ada 4 buah. Pintu besar terdiri dari 5 buah, dan tiang besar di dalam masjid yang berasal dari kayu jati ada 8 buah. Namun masjid ini tidak sesuai aslinya, lebih besar dari semula karena pada tahun 1918 - an telah direnovasi. Di dalamnya terdapat kolam masjid, kolam yang berbentuk "padasan" tersebut merupakan peninggalan jaman purba dan dijadikan sebagai tempat wudhu. Masih menjadi pertanyaan sampai sekarang, apakah kolam tersebut peninggalan jaman Hindu atau sengaja dibuat oleh Sunan Kudus untuk mengadopsi budaya Hindu. Di dalam masjid terdapat 2 buah bendera, yang terletak di kanan dan kiri tempat khatib membaca khutbah. Di serambi depan masjid terdapat sebuah pintu gapura, yang biasa disebut oleh penduduk sebagai "Lawang kembar", konon kabarnya gapura tersebut berasal dari bekas kerajaan Majapahit dahulu, gapura tersebut dulu dipakai sebagai pintu spion.
Cerita mengenai menara Kudus pun ada berbagai versi, ada pendapat yang mengatakan," bahwa menara Kudus adalah bekas candi orang Hindu,". Buktinya bentuknya hampir mirip dengan Candi Kidal yang terdapat di Jawa Timur yang didirikan kira-kira tahun 1250 atau mirip dengan Candi Singosari. Pendapat lain mengatakan kalau dibawah menara Kudus, dulunya terdapat sebuah sumber mata air kehidupan. Kenapa ? karena mahluk hidup yang telah mati kalau dimasukkan dalam mata air tersebut menjadi hidup kembali. Karena dikhawatirkan akan dikultuskan, ditutuplah mata air tersebut dengan bangunan menara. Menara Kudus itu tingginya kira-kira 17 meter, di sekelilingnya dihias dengan piringan-piringan bergambar yang kesemuanya berjumlah 32 buah banyaknya. 20 buah diantaranya berwarna biru serta berlukiskan masjid, manusia dengan unta dan pohon kurma. Sedang 12 buah lainnya berwarna merah putih berlukiskan kembang. Dalam menara ada tangganya yang terbuat dari kayu jati yang mungkin dibuat pada tahun 1895 M. Tentang bangunannya dan hiasannya jelas menunjukkan hubungannya dengan kesenian Hindu Jawa. Karena bangunan Menara Kudus itu terdiri dari 3 bagian : (1) Kaki (2) Badan dan (3) Puncak bangunan. Dihiasi pula dengan seni hias, atau artefix ( hiasan yang menyerupai bukit kecil ).
Kesan unik dan historis inilah yang sangat menarik para wisatawan religi maupun wisatawan biasa. Setiap hari tempat ini selalu ramai dikunjungi oleh para wisatawan, wisatawan yang berasal dari sekitar kota Kudus biasanya berkunjung pada hari biasa, hari Sabtu dan Minggu biasanya lebih banyak pengunjung dari luar kota. Tanggal 10 Syura' merupakan puncak keramaian di komplek masjid ini, dalam rangka khaul wafatnya Kanjeng Sunan Kudus. Walaupun mengandung keunikan yang khas, namun tata ruang sekitar masjid nampak amburadul. Karena terletak dipusat kota Kudus, hanya 5 menit dari alun-alun kota Kudus, masjid ini dikepung oleh perumahan penduduk yang cukup padat. Sehingga, mengurangi keindahan komplek bangunan Masjid Menara Kudus ini yang sekarang masuk sebagai salah satu cagar budaya. Selain itu, banyaknya pengemis yang berada disekitar masjid, juga dapat mengganggu para pengunjung yang datang. Agar terus terjaga kelestariannya, penataan ruang sekitar masjid harus diperbaiki kembali untuk mempertahankan kesan indah dan unik Masjid Menara Kudus ini.
Masjid Agung Demak
===============
Masjid Agung Demak merupakan masjid tertua di Pulau Jawa, didirikan Wali Sembilan atau Wali Songo. Lokasi Masjid berada di pusat kota Demak, berjarak + 26 km dari Kota Semarang, + 25 km dari Kabupaten Kudus, dan + 35 km dari Kabupaten Jepara.
Masjid ini merupakan cikal bakal berdirinya kerajaan Glagahwangi Bintoro Demak. Struktur bangunan masjid mempunyai nilai historis seni bangun arsitektur tradisional khas Indonesia. Wujudnya megah, anggun, indah, karismatik, mempesona dan berwibawa. Kini Masjid Agung Demak difungsikan sebagai tempat peribadatan dan ziarah.
Penampilan atap limas piramida masjid ini menunjukkan Aqidah Islamiyah yang terdiri dari tiga bagian ; (1) Iman, (2) Islam, dan (3) Ihsan. Di Masjid ini juga terdapat “Pintu Bledeg”, bertuliskan “Condro Sengkolo”, yang berbunyi Nogo Mulat Saliro Wani, dengan makna tahun 1388 Saka atau 1466 M, atau 887 H.
prasasti bulus
Raden Fattah bersama Wali Songo mendirikan Masjid Maha karya abadi yang karismatik ini dengan memberi prasasti bergambar bulus. Ini merupakan Condro Sengkolo Memet, dengan arti Sariro Sunyi Kiblating Gusti yang bermakna tahun 1401 Saka. Gambar bulus terdiri dari kepala yang berarti angka 1 ( satu ), kaki 4 berarti angka 4 ( empat ), badan bulus berarti angka 0 ( nol ), ekor bulus berarti angka 1 ( satu ). Bisa disimpulkan, Masjid Agung Demak berdiri pada tahun 1401 Saka.
soko majapahit
Soko Majapahit , tiang ini berjumlah delapan buah terletak di serambi masjid. Benda purbakala hadiah dari Prabu Brawijaya V Raden Kertabumi ini diberikan kepada Raden Fattah ketika menjadi Adipati Notoprojo di Glagahwangi Bintoro Demak 1475 M.
Pawestren, merupakan bangunan yang khusus dibuat untuk sholat jama’ah wanita. Dibuat menggunakan konstruksi kayu jati, dengan bentuk atap limasan berupa sirap ( genteng dari kayu ) kayu jati. Bangunan ini ditopang 8 tiang penyangga, di mana 4 diantaranya berhias ukiran motif Majapahit. Luas lantai yang membujur ke kiblat berukuran 15 x 7,30 m. Pawestren ini dibuat pada zaman K.R.M.A.Arya Purbaningrat, tercermin dari bentuk dan motif ukiran Maksurah atau Kholwat yang menerakan tahun 1866 M.
maksurah
Surya Majapahit , merupakan gambar hiasan segi 8 yang sangat populer pada masa Majapahit. Para ahli purbakala menafsirkan gambar ini sebagai lambang Kerajaan Majapahit. Surya Majapahit di Masjid Agung Demak dibuat pada tahun 1401 tahun Saka, atau 1479 M.
Maksurah , merupakan artefak bangunan berukir peninggalan masa lampau yang memiliki nilai estetika unik dan indah. Karya seni ini mendominasi keindahan ruang dalam masjid. Artefak Maksurah didalamnya berukirkan tulisan arab yang intinya memulyakan ke-Esa-an Tuhan Allah SWT. Prasasti di dalam Maksurah menyebut angka tahun 1287 H atau 1866 M, di mana saat itu Adipati Demak dijabat oleh K.R.M.A. Aryo Purbaningrat.
lawang/pintu bledheg
Pintu Bledheg, pintu yang konon diyakini mampu menangkal petir ini merupakan ciptaan Ki Ageng Selo pada zaman Wali. Peninggalan ini merupakan prasasti “Condro Sengkolo” yang berbunyi Nogo Mulat Saliro Wani, bermakna tahun 1388 Saka atau 1466 M, atau 887 H.
Mihrab atau tempat pengimaman, didalamnya terdapat hiasan gambar bulus yang merupakan prasasti “Condro Sengkolo”. Prasasti ini memiliki arti“Sariro Sunyi Kiblating Gusti”, bermakna tahun 1401 Saka atau 1479 M (hasil perumusan Ijtihad). Di depan Mihrab sebelah kanan terdapat mimbar untuk khotbah. Benda arkeolog ini dikenal dengan sebutan Dampar Kencono warisan dari Majapahit.
Dampar Kencana , benda arkeologi ini merupakan peninggalan Majapahit abad XV, sebagai hadiah untuk Raden Fattah Sultan Demak I dari ayahanda Prabu Brawijaya ke V Raden Kertabumi. Semenjak tahta Kasultanan Demak dipimpin Raden Trenggono 1521 – 1560 M, secara universal wilayah Nusantara menyatu dan masyhur, seolah mengulang kejayaan Patih Gajah Mada.
soko guru
Soko Tatal / Soko Guru yang berjumlah 4 ini merupakan tiang utama penyangga kerangka atap masjid yang bersusun tiga. Masing-masing soko guru memiliki tinggi 1630 cm. Formasi tata letak empat soko guru dipancangkan pada empat penjuru mata angin. Yang berada di barat laut didirikan Sunan Bonang, di barat daya karya Sunan Gunung Jati, di bagian tenggara buatan Sunan Ampel, dan yang berdiri di timur laut karya Sunan Kalijaga Demak. Masyarakat menamakan tiang buatan Sunan Kalijaga ini sebagai Soko Tatal.
Situs Kolam Wudlu . Situs ini dibangun mengiringi awal berdirinya Masjid Agung Demak sebagai tempat untuk berwudlu. Hingga sekarang situs kolam ini masih berada di tempatnya meskipun sudah tidak dipergunakan lagi.
Menara, bangunan sebagai tempat adzan ini didirikan dengan konstruksi baja. Pemilihan konstruksi baja sekaligus menjawab tuntutan modernisasi abad XX. Pembangunan menara diprakarsai para ulama, seperti KH.Abdurrohman (Penghulu Masjid Agung Demak), R.Danoewijoto, H.Moh Taslim, H.Aboebakar, dan H.Moechsin
Sumber Dinas Parwisata Kab Demak
Masjid Keraton Surakarta
========================
KERUNTUHAN Kasultanan Demak sebagai kerajaan Islam pertama, tidak berarti meruntuhkan perkembangan Islam di Tanah Jawa. Justru yang terjadi sebaliknya, penyebaran agama tersebut semakin berkembang dengan pesat. Karena itu jangan heran kalau pada zaman kerajaan-kerajaan sesudah masa Kasultanan Demak, sudah begitu banyak orang mengenal dan menganut Islam. Bahkan di kalangan bangsawan sekalipun, termasuk para raja yang menduduki takhta.
Demikian juga yang terjadi pada masa awal berdirinya Keraton Kasunanan Surakarta, sekitar abad 18. Betapa perkembangan Islam sudah sedemikian kuat merasuk dalam kehidupan para bangsawan keraton dan masyarakat. Beberapa bukti yang hingga sekarang masih ada menguatkan hal tersebut. Salah satunya adalah Masjid Agung Keraton Kasunanan Surakarta. Masjid yang berada di sebelah barat Alun-alun Lor itu merupakan masjid yang dibangun pihak keraton, sekaligus menjadi saksi pesatnya perkembangan penyebaran Islam pada masa awal berdirinya keraton saat itu.
Dalam buku berjudul Masjid Agung Keraton Kasunanan Surakarta diungkapkan, masjid itu dibangun pada masa Ingkang Sinuwun Kanjeng Susuhunan (ISKS) Paku Buwono (PB) III pada 1745. Atau dibangun 11 tahun sesudah Keraton Kasunanan Surakarta berdiri di Desa Solo.
Diungkapkan pula, rancangan arsitektur dalam pembangunannya dilihami dari bentuk bangunan Masjid Demak. Hal itu memang disengaja. Sebab perintah raja saat itu memang demikian. “Raja (PB III) sangat terkesan dengan bentuk bangunan Masjid Demak. Karena itu, saat membangun masjid, beliau menginginkan bentuk yang sama,” demikian yang tertulis dalam buku tersebut.
Maka berdirilah sebuah masjid yang sama bentuknya dengan Masjid Demak. Yakni berbentuk joglo serta beratap susun tiga yang melambangkan kesempurnaan manusia (muslim) dalam menjalani kehidupannya, yakni Islam, Iman, dan Ikhsan (amal).
Selanjutnya, seiring dengan pergantian generasi raja berikutnya, Masjid Agung mengalami beberapa penambahan dan perbaikan. Di antaranya, di depan masjid dibangun serambi dan di samping dibangun pawastren (tempat jamaah putri). Bahkan pernah pada 1856 dipasang kubah yang terbuat dari emas. Namun karena ada yang jahil mencurinya sebagian, kubah tersebut terpaksa diturunkan untuk disimpan di museum.
Masjid Agung Cirebon
====================
Mesjid Sang Cipta Rasa di bangun pada tahun 1480 M, oleh para wali terletak di Kelurahan Kesepuhan, Kecamatan Lemahwungkuk, Kota Cirebon.belum banyak keterangan tentang masjid kebanggaan masyakat cirebon ini.Lain kali Tips WIsata Murah akan Up date masjid Agung tersebut
Masjid tua di Kotawaringin
===================
Masjid Jami’ Kiai Gede di bangun tahun 1632 Miladiyah yang bertepatan dengan tahun 1052 Hijriyah. Saat itu Kerajaan Banjarmasin yang membawahi Kasultanan Kotawaringin dengan pemerintahan dipegang Pangeran Adipati Muda (1010-1055 H Jauh sebelum masuknya kolonial Belanda di Indonesia, Kotawaringin merupakan wilayah kerajaan/kesultanan.
Masuknya pengaruh ajaran Islam sampai di Kotawaringin yang ketika itu berada di bawah wilayah Kasultana Demak Bintoro).
Kiai Gede yang pernah berguru kepada Sunan Giri di Gresik, datang ke Kalimantan sekitar tahun 1591 Miladiyah. Ketika itu Kasultanan Banjarmasin dibawah perintah Sultan Mustainubillah raja keempat yang memerintah tahun 1650-1678 Miladiyah.
Arsitektur khas
Masjid Jami’ Kiai Gede berukuran 16 X 16 meter luas keseleuruhan mencapai 256 meter persegi. Kontruksi bangunan terbuat dari bahan kayu pilihan, kayu ulin yang memungkinkan bertahan untuk jangka waktu lama. Pondasi bangunan dirancang menggunakan bahan yang tahan cuaca, untuk menghindari lapuk dimakan usia tiang-tiangnya tidak ditanam melainkan diletakkan di atas mangkuk terbuat dari kayu ulin, khas Kalimantan.
Selain menjadi keunikan dan terobosan rekayasa ketika itu sekaligus merupakan hasil pemikiran cemerlang. Generasi muda yang berkecimpung dalam bidang rekayasa kontruksi hendaknya berkaca dari pengalaman para pendahulu yang sukses mengembangkan berbagai terobosan arsitek tersebut
Update
Dan berikut nama nama Masjid bersejarah di Indonesia
Direkomendasikan
wikipedia Masjid ampel
mitra gambar Sunan Giri
ASPeMusik wali songo
melayu online masjid-bersejarah
Mesjid ini dibangun sekitar 12 abad yang lalu dan pernah dibakar beberapa kali termasuk ketika Belanda menyerang Kuta Raja (Banda Aceh) pada tahun 1873. Kemudian pada tahun 1883 Belanda membangun kembali mesjid tersebut dalam upaya mengambil hati rakyat Aceh. Bangunan mesjid ini memiliki lima buah kubah dan dinding yang lebar serta kerangka yang besar. Di sekitar dasar kubah, dinding dan pilar terdapat bermacam jenis hiasan yang menarik.
Sumber: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Prov NAD
Masjid Agung Banten
===================
Oleh Bambang Setia Budi
Kompleks bangunan masjid ini ada di Desa Banten Lama, sekitar 10 km sebelah utara Kota Serang, ibu kota Provinsi Banten, .
Masjid Agung Banten -dibangun pertama kali oleh Sultan Maulana Hasanuddin (1552-1570), Selain sebagai tempat ibadah, juga menjadi obyek wisata riligi,
Menurut orang dulu, Masjid Agung Banten sejak awalnya beratap tumpuk lima, namun pada abad ke-17 pernah diubah menjadi tiga. Hal demikian dimungkinkan karena dua atap tumpuk teratas sebenarnya hanya atap tambahan yang ditopang tiang pusat
Yang paling menarik dari atap Masjid Agung Banten adalah justru pada dua tumpukan atap konsentris paling atas yang samar-samar mengingatkan idiom pagoda Cina. Kedua atap itu berdiri tepat di atas puncak tumpukan atap ketiga dengan sistem struktur penyalur gaya yang bertemu pada satu titik. Peletakan seperti itu memperlihatkan kesan seakan-akan atap dalam posisi kritis dan mudah goyah, namun hal ini justru menjadi daya tarik tersendiri.
Dua tumpukan atap paling atas itu tampak lebih berfungsi sebagai mahkota dibanding sebagai atap penutup ruang bagian dalam bangunan. Tak heran jika bentuk dan ekspresi seperti itu sebetulnya dapat dibaca dalam dua penafsiran: masjid beratap tumpuk lima atau masjid beratap tumpuk tiga dengan ditambah dua mahkota di atasnya sebagai elemen estetik.
Elemen menarik lainnya adalah menara di sebelah timur yang besar dan monumental serta tergolong unik karena belum pernah terdapat bentuk menara seperti itu di Jawa, bahkan di seluruh Nusantara. Dikarenakan menara bukanlah tradisi yang melengkapi masjid di Jawa pada masa awal, maka Masjid Agung Banten termasuk di antara masjid yang mula-mula menggunakan unsur menara di Jawa.
Tradisi menyebutkan, menara berkonstruksi batu bata setinggi kurang lebih 24 meter ini dulunya konon lebih berfungsi sebagai menara pandang/ pengamat ke lepas pantai karena bentuknya yang mirip mercusuar daripada sebagai tempat mengumandangkan azan. Yang jelas, semua berita Belanda tentang Banten hampir selalu menyebutkan menara tersebut, membuktikan menara itu selalu menarik perhatian pengunjung Kota Banten masa lampau.
Berita itu menunjukkan pula menara telah dibangun tidak berselang lama dengan pembangunan masjid. Dari hasil penelusuran Dr KC Crucq, yang pernah dimuat dalam karangannya berjudul Aanteekeningen Over de Manara te Banten (Beberapa Catatan tentang Menara di Banten) yang dipublikasikan dalam Tidscrift Voor de Indische Taal, Land and Volkenkunde van Nederlandsch Indie, dinyatakan, menara dibangun pada masa Sultan Maulana Hasanudin ketika putranya Maulana Yusuf sudah dewasa dan menikah.
Namun, dari sisi ragam hias, menara Masjid Agung Banten tampak terpengaruh seni ragam hias yang terdapat di Jawa, seperti hiasan kepala menara berbentuk dagoba atau hiasan segi tiga memanjang yang dikenal sebagai tumpal. Keduanya banyak dijumpai pada Candi Jago di Jawa Timur dan candi-candi lainnya. Bahkan, motif relung pada pintu menara seakan-akan merupakan penyederhanaan motif kala-makara dalam tradisi kebudayaan Indonesia pra-Islam seperti juga dekorasi mihrab Masjid Agung Kasepuhan di Cirebon.
SEBENARNYA masih banyak elemen unik lainnya yang secara singkat dapat disebutkan, seperti adanya umpak dari batu andesit berbentuk labu berukuran besar dan beragam pada setiap dasar tiang masjid. Yang berukuran paling besar dengan garis labu yang paling banyak adalah umpak pada empat tiang saka guru di tengah-tengah ruang shalat. Ukuran umpak besar ini tidak akan kita temui di sepanjang Pulau Jawa, kecuali di bekas reruntuhan salah satu masjid Kasultanan Mataram di Plered, Yogyakarta.
Selain itu, terdapat mimbar yang besar dan antik penuh hiasan dan warna. Tempat khotbah ini merupakan wakaf Nyai Haji Irad Jonjang Serang pada tanggal 23 Syawal 1323 Hijriyah (1903 M) sebagaimana tertulis dalam huruf Arab gundul pada penampil lengkung bagian atas muka mimbar. Berbeda dari mimbarnya yang menarik perhatian, mihrabnya (tempat imam memimpin shalat) yang berbentuk ceruk justru sangat kecil, sempit dan sederhana. Ini sangat berbeda dari mihrab yang berkembang pada masjid di belahan dunia lain.
Adanya pendopo dan kolam untuk wudu di sebelah timur melengkapi karakteristik masjid Jawa umumnya. Tiang pendopo yang dibangun pada masa pemerintahan Sultan Maulana Yusuf itu juga menggunakan umpak batu labu dengan bentuk bangunan dan teknik konstruksi tradisional Jawa.
MAJID KUDUS
===================
masjid Kudus dibangun oleh Sunan Kudus pada tahun 956 H. Hal ini terlihat dari batu tulis yang terletak di Pengimaman masjid, yang bertuliskan dan berbentuk bahasa Arab, yang sukar dibaca karena telah banyak huruf-huruf yang rusak. Batu itu berperisai, dan ukuran perisai tersebut adalah dengan panjang 46 cm, lebar 30 cm. Konon kabarnya batu tersebut berasal dari Baitulmakdis ( Al Quds ) di Yerussalem - Palestina. Dari kata Baitulmakdis itulah muncul nama Kudus yang artinya suci, sehingga masjid tersebut dinamakan masjid Kudus dan kotanya dinamakan dengan kota Kudus.
Masjid Menara Kudus ini terdiri dari 5 buah pintu sebelah kanan, dan 5 buah pintu sebelah kiri. Jendelanya semuanya ada 4 buah. Pintu besar terdiri dari 5 buah, dan tiang besar di dalam masjid yang berasal dari kayu jati ada 8 buah. Namun masjid ini tidak sesuai aslinya, lebih besar dari semula karena pada tahun 1918 - an telah direnovasi. Di dalamnya terdapat kolam masjid, kolam yang berbentuk "padasan" tersebut merupakan peninggalan jaman purba dan dijadikan sebagai tempat wudhu. Masih menjadi pertanyaan sampai sekarang, apakah kolam tersebut peninggalan jaman Hindu atau sengaja dibuat oleh Sunan Kudus untuk mengadopsi budaya Hindu. Di dalam masjid terdapat 2 buah bendera, yang terletak di kanan dan kiri tempat khatib membaca khutbah. Di serambi depan masjid terdapat sebuah pintu gapura, yang biasa disebut oleh penduduk sebagai "Lawang kembar", konon kabarnya gapura tersebut berasal dari bekas kerajaan Majapahit dahulu, gapura tersebut dulu dipakai sebagai pintu spion.
Cerita mengenai menara Kudus pun ada berbagai versi, ada pendapat yang mengatakan," bahwa menara Kudus adalah bekas candi orang Hindu,". Buktinya bentuknya hampir mirip dengan Candi Kidal yang terdapat di Jawa Timur yang didirikan kira-kira tahun 1250 atau mirip dengan Candi Singosari. Pendapat lain mengatakan kalau dibawah menara Kudus, dulunya terdapat sebuah sumber mata air kehidupan. Kenapa ? karena mahluk hidup yang telah mati kalau dimasukkan dalam mata air tersebut menjadi hidup kembali. Karena dikhawatirkan akan dikultuskan, ditutuplah mata air tersebut dengan bangunan menara. Menara Kudus itu tingginya kira-kira 17 meter, di sekelilingnya dihias dengan piringan-piringan bergambar yang kesemuanya berjumlah 32 buah banyaknya. 20 buah diantaranya berwarna biru serta berlukiskan masjid, manusia dengan unta dan pohon kurma. Sedang 12 buah lainnya berwarna merah putih berlukiskan kembang. Dalam menara ada tangganya yang terbuat dari kayu jati yang mungkin dibuat pada tahun 1895 M. Tentang bangunannya dan hiasannya jelas menunjukkan hubungannya dengan kesenian Hindu Jawa. Karena bangunan Menara Kudus itu terdiri dari 3 bagian : (1) Kaki (2) Badan dan (3) Puncak bangunan. Dihiasi pula dengan seni hias, atau artefix ( hiasan yang menyerupai bukit kecil ).
Kesan unik dan historis inilah yang sangat menarik para wisatawan religi maupun wisatawan biasa. Setiap hari tempat ini selalu ramai dikunjungi oleh para wisatawan, wisatawan yang berasal dari sekitar kota Kudus biasanya berkunjung pada hari biasa, hari Sabtu dan Minggu biasanya lebih banyak pengunjung dari luar kota. Tanggal 10 Syura' merupakan puncak keramaian di komplek masjid ini, dalam rangka khaul wafatnya Kanjeng Sunan Kudus. Walaupun mengandung keunikan yang khas, namun tata ruang sekitar masjid nampak amburadul. Karena terletak dipusat kota Kudus, hanya 5 menit dari alun-alun kota Kudus, masjid ini dikepung oleh perumahan penduduk yang cukup padat. Sehingga, mengurangi keindahan komplek bangunan Masjid Menara Kudus ini yang sekarang masuk sebagai salah satu cagar budaya. Selain itu, banyaknya pengemis yang berada disekitar masjid, juga dapat mengganggu para pengunjung yang datang. Agar terus terjaga kelestariannya, penataan ruang sekitar masjid harus diperbaiki kembali untuk mempertahankan kesan indah dan unik Masjid Menara Kudus ini.
Masjid Agung Demak
===============
Masjid ini merupakan cikal bakal berdirinya kerajaan Glagahwangi Bintoro Demak. Struktur bangunan masjid mempunyai nilai historis seni bangun arsitektur tradisional khas Indonesia. Wujudnya megah, anggun, indah, karismatik, mempesona dan berwibawa. Kini Masjid Agung Demak difungsikan sebagai tempat peribadatan dan ziarah.
Penampilan atap limas piramida masjid ini menunjukkan Aqidah Islamiyah yang terdiri dari tiga bagian ; (1) Iman, (2) Islam, dan (3) Ihsan. Di Masjid ini juga terdapat “Pintu Bledeg”, bertuliskan “Condro Sengkolo”, yang berbunyi Nogo Mulat Saliro Wani, dengan makna tahun 1388 Saka atau 1466 M, atau 887 H.
prasasti bulus
Raden Fattah bersama Wali Songo mendirikan Masjid Maha karya abadi yang karismatik ini dengan memberi prasasti bergambar bulus. Ini merupakan Condro Sengkolo Memet, dengan arti Sariro Sunyi Kiblating Gusti yang bermakna tahun 1401 Saka. Gambar bulus terdiri dari kepala yang berarti angka 1 ( satu ), kaki 4 berarti angka 4 ( empat ), badan bulus berarti angka 0 ( nol ), ekor bulus berarti angka 1 ( satu ). Bisa disimpulkan, Masjid Agung Demak berdiri pada tahun 1401 Saka.
soko majapahit
Soko Majapahit , tiang ini berjumlah delapan buah terletak di serambi masjid. Benda purbakala hadiah dari Prabu Brawijaya V Raden Kertabumi ini diberikan kepada Raden Fattah ketika menjadi Adipati Notoprojo di Glagahwangi Bintoro Demak 1475 M.
Pawestren, merupakan bangunan yang khusus dibuat untuk sholat jama’ah wanita. Dibuat menggunakan konstruksi kayu jati, dengan bentuk atap limasan berupa sirap ( genteng dari kayu ) kayu jati. Bangunan ini ditopang 8 tiang penyangga, di mana 4 diantaranya berhias ukiran motif Majapahit. Luas lantai yang membujur ke kiblat berukuran 15 x 7,30 m. Pawestren ini dibuat pada zaman K.R.M.A.Arya Purbaningrat, tercermin dari bentuk dan motif ukiran Maksurah atau Kholwat yang menerakan tahun 1866 M.
maksurah
Surya Majapahit , merupakan gambar hiasan segi 8 yang sangat populer pada masa Majapahit. Para ahli purbakala menafsirkan gambar ini sebagai lambang Kerajaan Majapahit. Surya Majapahit di Masjid Agung Demak dibuat pada tahun 1401 tahun Saka, atau 1479 M.
Maksurah , merupakan artefak bangunan berukir peninggalan masa lampau yang memiliki nilai estetika unik dan indah. Karya seni ini mendominasi keindahan ruang dalam masjid. Artefak Maksurah didalamnya berukirkan tulisan arab yang intinya memulyakan ke-Esa-an Tuhan Allah SWT. Prasasti di dalam Maksurah menyebut angka tahun 1287 H atau 1866 M, di mana saat itu Adipati Demak dijabat oleh K.R.M.A. Aryo Purbaningrat.
lawang/pintu bledheg
Pintu Bledheg, pintu yang konon diyakini mampu menangkal petir ini merupakan ciptaan Ki Ageng Selo pada zaman Wali. Peninggalan ini merupakan prasasti “Condro Sengkolo” yang berbunyi Nogo Mulat Saliro Wani, bermakna tahun 1388 Saka atau 1466 M, atau 887 H.
Mihrab atau tempat pengimaman, didalamnya terdapat hiasan gambar bulus yang merupakan prasasti “Condro Sengkolo”. Prasasti ini memiliki arti“Sariro Sunyi Kiblating Gusti”, bermakna tahun 1401 Saka atau 1479 M (hasil perumusan Ijtihad). Di depan Mihrab sebelah kanan terdapat mimbar untuk khotbah. Benda arkeolog ini dikenal dengan sebutan Dampar Kencono warisan dari Majapahit.
Dampar Kencana , benda arkeologi ini merupakan peninggalan Majapahit abad XV, sebagai hadiah untuk Raden Fattah Sultan Demak I dari ayahanda Prabu Brawijaya ke V Raden Kertabumi. Semenjak tahta Kasultanan Demak dipimpin Raden Trenggono 1521 – 1560 M, secara universal wilayah Nusantara menyatu dan masyhur, seolah mengulang kejayaan Patih Gajah Mada.
soko guru
Soko Tatal / Soko Guru yang berjumlah 4 ini merupakan tiang utama penyangga kerangka atap masjid yang bersusun tiga. Masing-masing soko guru memiliki tinggi 1630 cm. Formasi tata letak empat soko guru dipancangkan pada empat penjuru mata angin. Yang berada di barat laut didirikan Sunan Bonang, di barat daya karya Sunan Gunung Jati, di bagian tenggara buatan Sunan Ampel, dan yang berdiri di timur laut karya Sunan Kalijaga Demak. Masyarakat menamakan tiang buatan Sunan Kalijaga ini sebagai Soko Tatal.
Situs Kolam Wudlu . Situs ini dibangun mengiringi awal berdirinya Masjid Agung Demak sebagai tempat untuk berwudlu. Hingga sekarang situs kolam ini masih berada di tempatnya meskipun sudah tidak dipergunakan lagi.
Menara, bangunan sebagai tempat adzan ini didirikan dengan konstruksi baja. Pemilihan konstruksi baja sekaligus menjawab tuntutan modernisasi abad XX. Pembangunan menara diprakarsai para ulama, seperti KH.Abdurrohman (Penghulu Masjid Agung Demak), R.Danoewijoto, H.Moh Taslim, H.Aboebakar, dan H.Moechsin
Sumber Dinas Parwisata Kab Demak
Masjid Keraton Surakarta
========================
Demikian juga yang terjadi pada masa awal berdirinya Keraton Kasunanan Surakarta, sekitar abad 18. Betapa perkembangan Islam sudah sedemikian kuat merasuk dalam kehidupan para bangsawan keraton dan masyarakat. Beberapa bukti yang hingga sekarang masih ada menguatkan hal tersebut. Salah satunya adalah Masjid Agung Keraton Kasunanan Surakarta. Masjid yang berada di sebelah barat Alun-alun Lor itu merupakan masjid yang dibangun pihak keraton, sekaligus menjadi saksi pesatnya perkembangan penyebaran Islam pada masa awal berdirinya keraton saat itu.
Dalam buku berjudul Masjid Agung Keraton Kasunanan Surakarta diungkapkan, masjid itu dibangun pada masa Ingkang Sinuwun Kanjeng Susuhunan (ISKS) Paku Buwono (PB) III pada 1745. Atau dibangun 11 tahun sesudah Keraton Kasunanan Surakarta berdiri di Desa Solo.
Diungkapkan pula, rancangan arsitektur dalam pembangunannya dilihami dari bentuk bangunan Masjid Demak. Hal itu memang disengaja. Sebab perintah raja saat itu memang demikian. “Raja (PB III) sangat terkesan dengan bentuk bangunan Masjid Demak. Karena itu, saat membangun masjid, beliau menginginkan bentuk yang sama,” demikian yang tertulis dalam buku tersebut.
Maka berdirilah sebuah masjid yang sama bentuknya dengan Masjid Demak. Yakni berbentuk joglo serta beratap susun tiga yang melambangkan kesempurnaan manusia (muslim) dalam menjalani kehidupannya, yakni Islam, Iman, dan Ikhsan (amal).
Selanjutnya, seiring dengan pergantian generasi raja berikutnya, Masjid Agung mengalami beberapa penambahan dan perbaikan. Di antaranya, di depan masjid dibangun serambi dan di samping dibangun pawastren (tempat jamaah putri). Bahkan pernah pada 1856 dipasang kubah yang terbuat dari emas. Namun karena ada yang jahil mencurinya sebagian, kubah tersebut terpaksa diturunkan untuk disimpan di museum.
Masjid Agung Cirebon
====================
Mesjid Sang Cipta Rasa di bangun pada tahun 1480 M, oleh para wali terletak di Kelurahan Kesepuhan, Kecamatan Lemahwungkuk, Kota Cirebon.belum banyak keterangan tentang masjid kebanggaan masyakat cirebon ini.Lain kali Tips WIsata Murah akan Up date masjid Agung tersebut
Masjid tua di Kotawaringin
===================
Masuknya pengaruh ajaran Islam sampai di Kotawaringin yang ketika itu berada di bawah wilayah Kasultana Demak Bintoro).
Kiai Gede yang pernah berguru kepada Sunan Giri di Gresik, datang ke Kalimantan sekitar tahun 1591 Miladiyah. Ketika itu Kasultanan Banjarmasin dibawah perintah Sultan Mustainubillah raja keempat yang memerintah tahun 1650-1678 Miladiyah.
Arsitektur khas
Masjid Jami’ Kiai Gede berukuran 16 X 16 meter luas keseleuruhan mencapai 256 meter persegi. Kontruksi bangunan terbuat dari bahan kayu pilihan, kayu ulin yang memungkinkan bertahan untuk jangka waktu lama. Pondasi bangunan dirancang menggunakan bahan yang tahan cuaca, untuk menghindari lapuk dimakan usia tiang-tiangnya tidak ditanam melainkan diletakkan di atas mangkuk terbuat dari kayu ulin, khas Kalimantan.
Selain menjadi keunikan dan terobosan rekayasa ketika itu sekaligus merupakan hasil pemikiran cemerlang. Generasi muda yang berkecimpung dalam bidang rekayasa kontruksi hendaknya berkaca dari pengalaman para pendahulu yang sukses mengembangkan berbagai terobosan arsitek tersebut
Update
Dan berikut nama nama Masjid bersejarah di Indonesia
SUMATRA
Masjid Raya Baiturrahman (1607-1636) Nanggroe Aceh Darussalam
Masjid Raya Lima Kaum (1710) Tanah Datar, Sumatera Barat
Masjid Agung Sltn Machmud Badaruddin (1724-1758)Palembang, Sum-Sel
Masjid Raya Syekh Burhanuddin (1670) Padang Pariaman, Sum Bar
Masjid Syekh Mangsiangan (1800) Koto Laweh, Sumatera Barat
Masjid Raya Pulau Penyengat (1803) Kepulauan Riau, Riau
Masjid Raya Ganting (1805) Padang, Sumatera Barat
Masjid Bingkudu (1823) Agam, Sumatera Barat
Masjid Raya Labuhan Medan (1824) Deliserdang, Sumatera Utara
Masjid Gadang Koto Nan Empat (1840) Payakumbuh, Sumatera Barat
Masjid Raya al-Osmani (1854-1858) Labuhan Deli, Sumatera Utara
Masjid Raya Pakandangan (1865) Padang Pariaman, Sum Bar
Masjid Raya Taluk (1870) Agam, Sumatera Barat
Masjid Agung Pondok Tinggi (1874) Kerinci, Jambi
Masjid Jamik Ismailiyah (1884) Delliserdang, Sumatera Utara
Masjid Raya al-Ma'shun (1906) Medan, Sumatera Utara
JAWA
Masjid Sunan Ampel (1450) Surabaya, Jawa Timur
Masjid Agung Demak (1479) Demak, Jawa Tengah
Masjid Sang Ciptarasa (1480) Cirebon, Jawa Barat
Masjid al-Alam Marunda (1527) Jakarta Utara, DKI Jakarta
Masjid Menara Kudus (1537) Kudus, Jawa Tengah
Masjid Jamik Sunan Giri 1544 Gresik, Jawa Timur
Masjid Kasunyatan (1552-1570) Serang, Banten
Masjid Mantingan (1559) Jepara, Jawa Tengah
Masjid Sendang Duwur (1561) Lamongan, Jawa Timur
Masjid Agung Banten (1566) Banten
Masjid Mataram Kotagede (1575-1601) Bantul,Yogyakarta
Masjid Jatinegara Kaum (1620) Jakarta Timur, DKI Jakarta
Masjid Pekojan (1760) Jakarta Barat, DKI Jakarta
Masjid Angke (1761) Jakarta Barat, DKI Jakarta
Masjid Tambora (1761) Jakarta Barat, DKI Jakarta
Masjid Agung Yogyakarta (1773) Daerah Istimewa Yogyakarta
Masjid Kebonjeruk (1786) Jakarta Barat, DKI Jakarta
Masjid (al-Muqarramah Kramat (1789) Jakarta Utara, DKI Jakarta
Masjid Agung Manonjaya (1814-1835) Tasikmalaya, Jawa Barat
Masjid Attaibin (1815) Jakarta Pusat, DKI Jakarta
Masjid al-Makmur (1840-1860) Jakarta Pusat, DKI Jakarta
Masjid Agung Tuban (1894) Tuban, Jawa Timur
Masjid al-Alam Cilincing (abad ke-17) Jakarta Utara, DKI Jakarta
Masjid Caringin (akhir abad ke-19) Pandeglang, Banten
Masjid Agung Surakarta (abad ke-18) Surakarta, Jawa Tengah
Masjid Agung Sumenep (abad ke-15) Sumenep, Jawa Timur
Masjid Luar Batang Jakarta Utara, DKI Jakarta
SULAWESI,IRIAN JAYA DAN MALUKU
Masjid Tua Katangka (1603) Gowa, Sulawesi Selatan
Masjid Sultan Ternate (1610) Maluku Utara
Masjid Jami Silalouw (1611) Maluku
Masjid Tua Palopo (abad ke-17) Luwu, Sulawesi Selatan
Masjid Tua Bungku (1835) Poso, Sulawesi Tengah
Masjid Jami Ambon (1860) Ambon, Maluku
Masjid Kuno Patiburak (1870) Fak-Fak, Irian Jaya
KALIMANTAN
Masjid Sulatan Abdurrahman (1823) Pontianak, Kal Barat
Masjid Kesultanan Sambas (1885) Sambas, Kal Barat
Masjid Agung Amuntai (1875) Hulu Sungai Utara, Kal Sel
Masjid Su'ada (1908) Hulu Sungai Utara, Kal Sel
Masjid Kasimuddin (1901-1925) Bulungan, KalTimur
Masjid Shirotol Mustaqim (1891) Samarinda, Kal Timur
NUSA TENGGARA
Masjid at-Taqwa Larabaeng (1625) Alor, NTT
Masjid Kuno Bayan Beleq (abad ke-16) Lombok Barat, NTB
Masjid Pujut (abad ke-16) Lombok Tengah, NTB
Masjid Rabitan (abad ke-16) Lombok Tengah, NTB
BALI
Masjid Jamik Singraja (1846) Buleleng, Bali
Masjid asy-Syuhada (abad ke-16) Denpasar, Bali
Direkomendasikan
wikipedia Masjid ampel
mitra gambar Sunan Giri
ASPeMusik wali songo
melayu online masjid-bersejarah
Masjid masjid Bersejarah Wisata Religi
Reviewed by Unknown on
4:23 PM
Rating: 4.5
0 Komentar untuk "Masjid masjid Bersejarah Wisata Religi"